Apakah yang kami lakukan itu termasuk WWL?

“Apakah pada akhirnya anak benar-benar akan berhenti menyusui dengan penuh kesadaran? Apa anak benar-benar akan meminta berhenti dengan sendirinya tanpa kita yang meminta?”

Saya memulai semua dengan mengurangi frekuensi menyusui; pada awalnya saya hanya akan memberikan ASI saat dia minta tanpa saya tawarkan, lambat laun saya mulai kesepakatan kalau dia hanya boleh nenen jika dia akan tidur. Kesepakatan itu kami beri nama “nenen bobo.” Walau tak jarang, setelah nenen bobo dia tidak tidur, malah kembali cenghar, boro-boro tidur. Akhirnya kesepakatannya naik lagi menjadi: dia hanya boleh nenen dua kali, terserah dia mau kapanpun. Walaupun saya sendiri prefer dua kali itu sebelum dia tidur siang dan tidur malam, jadi kalau setelah nenen dia tidak tidur, nanti pas dia ngantuk dia tidak boleh nenen lagi. Dan step terakhir, dia berhenti total; tidak nenen sama sekali. Selesai!

Sejujurnya ada step yang terlewat, harusnya setelah nenen dua kali sehari, naik ke satu kali sehari, baru berhenti total. Tapi karena beberapa alasan, saya dan suami sepakat untuk langsung berhenti total karena kami percaya anak kami sudah siap. Selain itu, tanggal 31 agustus kemarin kami rasa adalah momen yang tepat bagi dia berhenti total. Iya, tanggal 31 Agustus lalu sampai tanggal 2 September orang tua saya mudik dan saya jadikan ini sebuah kesempatan besar untuk sapih total, karena pada saat ada mereka, kadang saya merasa tidak leluasa saat saya harus menolak dengan tegas dan ada campur tangan mereka. Ditambah lagi, pernah ada wacana “Sawaii akan dibawa liburan ke uyutnya di Ciamis beberapa hari biar enggak nenen.” Walau inti sebenarnya adalah membantu meringankan beban kita sebagai anaknya, dan demi cucu tersayang, tapi yang saya tangkap dari wacana itu, kalau kamu gagal sapih dengan caramu, sini sama kami aja dibawa liburan biar lupa nenen.

Sebagai ibu baru dan anak pertama, saya ingin melakukannya dengan cara kami sendiri, dengan pengetahuan yang kami miliki, dengan pengalaman yang kami dengar, dan kami juga sadar apa yang kami putuskan juga berdasarkan apa yang kami yakini terbaik. Jadi kami putuskan dengan waktu yang terbatas ini, akan kami nikmati sebagai waktu intim kami untuk menyapih dengan cara kami. Kami terus memberikan sugesti dan mengingatkan dia hadiah apa yang akan diterima jika dia berhenti nenen. Ada sebuah kesepakatan, jika dia berhenti nenen, kami akan belikan dia sepeda (metode ini digunakan oleh beberapa teman terdekat saya dan berhasil). Dia sepakat dan kebetulan dia sendiri interested sekali ingin memiliki sepeda seperti beberapa temannya di sekitar rumah. Waktu intim itu saya manfaatkan untuk terus memberikan dukungan padanya bahwa dia bisa; sulit itu karena tidak biasa; ini tentang sebuah kebiasaan. Banyak sugesti yang kami berikan: memberikan lebih banyak pelukan dan kecupan, mencoba lebih mengerti dia bahwa fase ini bukan perkara mudah juga untuk dia dan saya sebagai ibunya.

Dari awal tahapan itu kami lakukan dengan berbicara, iya, tanpa memberi pahit-pahit atau menakut-nakuti. Paling pernah beberapa kali saya tolak dengan alasan sakit sih… Tapi ini beneran sakit, entah karena keadaaan yang tidak fit atau kondisi ASI yang mulai menipis sehingga membuat sakit saat menyusui. Itu semua kami komunikasikan kepadanya. Dia terima? Tidak selalu. Namanya juga hidup. ya penuh dinamika dan tantangan. Kadang dia mengerti, kadang dia maksa dan nangis sejadi-jadinya, tapi saya, khususnya, dituntut untuk konsisten dan sabar luar biasa, tak boleh lengah oleh rayuan tangisan dia yang makin lama volumenya semakin meningkat. Katanya yang dia butuhkan saat itu adalah pelukan, kecupan penguatan bahwa walaupun dia tidak nenen, kasih sayang kami tidak akan berkurang, bahkan baiknya saat proses sapih itu berjalan, kita harus lebih banyak memberikan pelukan, kecupan dan kata-kata penguatan agar dia tidak merasa kehilangan atau merasa terbuang. Tapi ibu saya juga manusia biasa, tak jarang letih menghampiri. Tapi tangisan sang anak tak kunjung mereda. Maafkan ibu, ya Waii, kadang ibu membiarkan kamu menangis–mengambil beberapa langkah pergi untuk meninggalkan kamu atau menolak dengan tegas.

Proses ini sangat melelahkan bagi saya pribadi. Saya hampir menyerah. Ditambah lagi pada fase ini, sang anak hanya mau semuanya sama ibu; digendong sama “ibu aja”, minum maunya diambil sama “ibu aja”,  semua sama “ibu aja”. Tak peduli ibu sedang tidur, makan atau apapun, semua harus sama ibu, tak boleh ada campur tangan bapak, kakek atau nenek saat cranky datang menghampiri. Saya pernah menangis beberapa kali pada fase ini, mengeluhkan letih pada suami, berharap bisa gantian beberapa jam saja saat fase itu datang atau bahkan menjadikan suami sebagai pelampiasan keletihan. Belum lagi, di awal-awal sapih total, saya mengalami pembengkakan pada payudara. Jangankan sabar menghadapi anak yang pengen digendong terus kalau tidur, sabar menahan rasa sakit karena bengkak aja sulit, coy… Hati-hati jangan “senggol” ibu menyusui yang sedang bengkak payudara saat menyapih, bisi dibacok!

Selain itu adakah tantangan lain yang kami hadapi saat menyapih? Hidup itu kalau lurus-lurus aja kayaknya flat ya. Begitu juga tantangan sapih ini. Saya yang masih tinggal bersama orang tua juga, menjadi salah satu tantangan. Maksud hati membantu, kadang malah menambah ke-cranky-an. Maksud hati meringkankan, malah kadang menjadi beban. Belum lagi beberapa komentar orang tua kami. Salah satunya “yaudahlah yang pasti-pasti aja, yang udah kebukti sama orang tua jaman dulu; pakai pahit-pahit atau digambarin payudara ibunya.” Atau, “harus sekarang ya disapihnya? Nanti aja atuh udah tiga tahun. Kasian”. Atau juga komentar dari orang (tua) lain, “udah lewat dari dua tahun mah harus berhenti atuh nenennya, di agama juga maksimal dua tahun. Lewat dua tahun, ASI-nya justru gak baik untuk anak.” Untung semua komentar diberikan langsung ke suami saya, bukan ke saya. Dan beruntungnya juga suami saya sangat mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memberitahu saya, sehingga saya merasa santai banget menerima tanggapan-tanggapan tersebut dan bahkan terlalu malas untuk menjawab komentar mereka dengan kata-kata. Saya hanya ingin menjawab komentar tersebut dengan sebuah bukti riil bahwa kami bisa melakukan dengan cara kami sendiri.

Eh tapi saya sendiri pengen jawab sih disini beberapa alasan saya, hahahaha… Yang saya baca dan saya yakini, sapih adalah proses penting dalam fase pengambilan keputusan besar pertama anak kita; kapan dia siap berhenti ataupun tidak. Memberikan pahit-pahit atau menakut-nakuti itu sebenarnya bisa membuat trauma pada anak; anak merasa tidak disayang lagi, dan dibuang. Walaupun saya tidak yakin sepenuhnya benar sih, wong saya juga generasi yang disapih dengan dipahit-pahitin sepahit kehidupan, dan saya merasa semua baik-baik saja, atau mungkin saya baik-baik saja karena saat disapih juga saya tetap mendapat dekapan dan dukungan dalam bentuk lainnya walau diberikan pahit-pahit atau di takut-takuti? dan ini perlu cari tahu lebih banyak sih. Yang pasti jika pengetahuan meningkat dan ada cara yang lebih baik, kenapa enggak? Lalu untuk menjawab pertanyaan kenapa mesti sekarang, sebenarnya kalau setelah ikhtiar semaksimal mungkin dia tetap pengen nenen sampai tiga tahun sih aku pasrah ya, dia yang ambil keputusan, saya hanya coba memfasilitasi sebaik-baiknya. Tapi kalau ternyata dia mengambil kesempatan ini juga untuk berhenti, yaudah sekarang aja, kenapa mesti nunggu tiga tahun? Terakhir, emang setelah lewat dari dua tahun, ASI memberikan pengaruh buruk untuk si anak? Sepengetahuan aku, enggak sih. Tapi kalau manfaatnya jadi kurang, iya jelas, atau beberapa orang bilang jadinya tidak ada nutrisi, hanya air saja. Selain itu, biasanya kalau dia masih nenen, makan jadi lebih sedikit sedangkan pada usia ini dia butuh lebih banyak nutrisi bukan hanya dari ASI, tapi dia butuh nutrisi yang lebih bervariatif. Dan alhamdulilah, beres sapih, makan dia jadi lebih lahap.

Oia kami pernah gagal juga loh ketika mengurangi frekuensi menyusui ketika kakak saya pulang ke Indonesia dan tinggal serumah selama kurang lebih tiga minggu bersama tiga anaknya. Adaptasi dengan suasana baru membuat saya harus menghentikan proses sapih dan memulai lagi dari awal saat liburan mereka selesai. Hahahaha. Tapi apapun itu, semua akhirnya terlewati saat anak kami berusia dua tahun satu bulan; dia selesai ASI. Hari ini, saat saya menuliskan pengalaman ini, dia sudah berhenti nenen 10 hari, dan dia sudah mendapatkan sepedanya di hari ke-5. Alhamdulilah

Setelah dia mendapatkan sepeda, apakah dia pernah meminta nenen kembali? Dengan sangat takjub, saya menjawab tidak. Dia tidak pernah berkata “mau nenen bobo.” Kini saat dia mengantuk, dia akan berkata “bu, ngantuk”, “bu, gendong”, “bu, garuk-garuk” atau “bu, bobo peluk.” Padahal sebelum dia beli sepeda, dia masih suka ngomong “mau nenen bobo aja, enggak mau sepeda”, tapi kini dia tak pernah sekalipun meminta kembali, seolah dia sudah sangat mengerti.

Lalu apakah yang kami lakukan bisa disebut WWL atau weaning with love? Saya tidak tahu, saya hanya melakukan apa yang menurut saya terbaik berdasarkan apa yang saya yakini. Saya secara pribadi percaya, setiap ibu dan anak memiliki caranya sendiri untuk menyapih. Mereka pasti memiliki pertimbangan atas apa-apa yang mereka pilih berdasarkan apa yang mereka anggap baik dan, benar juga, dengan cara mereka sendiri. Mereka memilih berdasarkan pertimbangan atas semua informasi yang mereka miliki dan mereka yakini.

Selamat bersepeda, Sawaii. Selamat memulai petualangan baru yang lebih seru! Walaupun kini kita tidak lagi berdekapan dalam hubungan intim menyusui, tapi pelukan ibu akan selalu ada untuk kamu kapanpun dan dimanapun.

Berikut detail Tips menyapih dengan WWL dari rekan-rekan AIMI. Semoga dapat membantu 🙂

IMG_48661
Hadiah untuk kamu yang berhasil mengambil keputusan besar pertama di 2 Tahun 1 bulan

4 tanggapan untuk “Apakah yang kami lakukan itu termasuk WWL?”

Tinggalkan Balasan ke shellyasmauliyah Batalkan balasan